Drama Telor Asin
- Budi Satria
- May 7, 2021
- 4 min read

Aaaaah.....kemalasan ini akhirnya ku akhiri setelah selama 1 tahun ini tak pernah ku tuangkan didalam tulisan.
Pandemi seakan-akan telah melumpuhkan sinergisitas tangan dan otakku menuangkan jejak didalam verbal sederhana yang sudah menjadi rutinitas didalam keseharian.
Berawal dari semangkok rawon panas yang begitu nikmat lalu ku padukan dengan sebutir telor asin yang katanya pemilik warung sangat nikmat (maaf ya kawan....menu ini ku santap di saat kawan2 nongkrong ajak bukber bersama).
Saat itu ada beberapa ajakan yang hampir bersamaan, diantaranya ajakan dengan rekan2 media online yang sempat japri mengajakku ngopi di durasi waktu hampir aja bersamaan, dan...sekali lagi waktu yang sangat berharga untuk di lewatkan manakala ajakan nongkrong dengan kawan2 media online tersebut hampir saja aku abaikan.
Dan...lepas bukber mulai bergeser tempat memenuhi ajakan nongkrong dengan kawan2 media, datang tepat waktu dan seperti biasanya ku pesan kopi tubruk tanpa gula, aaah...nikmat sekali aroma khasnya (kali ini aku order kopi tubruk rilisan Wae Rebo)
Lama tak ngobrol karena kesibukan dan masa2 pandemi seakan-akan melepaskan kangen jumpa darat yang sangat lama ku rindukan, seperti biasa kami saling bertanya kabar masing-masing ( oh iya....saat itu protokol kesehatan tetap kami lakukan lho).
Seperti biasa kami mulai mengulik beberapa isu hangat dari soal citizen journalism, netizen journalism, sampah perkotaan sampai isu-isu hangat tentang religius.
Pembicaraan semakin hangat ketika isu perkembangan tentang netizen journalism ini muncul, beberapa isu hangat yang hampir terlupakan sampai akhirnya kami mengamati
salah satu sosok muda yang sangat getol sekali menempatkan sisi yang berbeda didalam menyampaikan pesan tentang Tuhan!
Salah satu pernyataannya yang begitu adem di telinga adalah "saya hadir dimanapun tempat ketika seseorang membutuhkan Tuhan" , jarang sekali ku jumpai sosok muda yang cukup berani menempatkan dirinya sebagai bagian pribadi yang berbeda didalam menyampaikan nilai religiusitas tentang Theos (Tuhan) yang sesungguhnya.
Kami kemudian saling bertukar pengalaman pribadi tentang saat-saat mengenal Theos yang sesungguhnya didalam kehidupan pribadi yang bahkan mengubah pola berpikir, kinerja , bersosialisasi, sikap dan kelakuan didalam keseharian (oh iya...kami berkumpul 5 orang dan secara kebetulan keyakinan mengenal Theos kita representasi dari 5 keyakinan yang ada di Indonesia....emejing! )
Dan....saat sedang hangat-hangat ngobrolin pengalaman pribadi, tiba-tiba salah satu rekan menunjukkan kepada kami tentang berita hangat didalam tajuk sebuah media online (saat itu salah satu rekan tertawa ngakak, ternyata dia bagian dari media online tersebut! wkwkwkwkwkwk....), ya.....kami tertarik dengan sebuah kalimat Toleransi apa Telor Asin ? terucap dari bibir salah satu pendakwah kondang yang laris manis (aku menyebutnya selebritis rohani) ketika menyikapi dialoq kebangsaan dari sosok muda pendakwah atas undangan salah satu rumah ibadah beberapa saat lalu .
Telor Asin ini akhirnya menjadi perbincangan yang seksi dan hot mengalahkan isu-isu lain yang sempat kami obrolin.
Anehnya.....kami tak satupun pro terhadap pernyataan Telor Asin , bahkan kami beranggapan bahwa nilai verbal yang terucap dari salah satu tokoh (sangat kondang dan katanya berwibawa) ini menunjukkan kepada kami nilai-nilai keluhuran dan sikap yang mulai terungkap satu persatu secara tidak sengaja didalam verbal yang terucap.
Perbincangan semakin hangat manakala kami mulai membuat resume atas obrolan remeh temeh ini menjadi obrolan yang mungkin bagi kami sangat penting:
Sikap menghakimi senantiasa muncul terucap tanpa menelisik makna dari paparan yang tak terdengarkan ataupun terbaca secara utuh
Sikap menghargai perbedaan semakin tipis di Indonesia
Dan tiba saatnya kami berpisah, selamat berjumpa lagi kawan, doaku untuk kalian semoga kita di berkahi kesehatan yang melimpah oleh Tuhan untuk bersenda gurau dan ngobrol lagi di lain kesempatan.
Filosofi Telor Asin
Sesampai di rumah bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan badan lalu sempatkan diri bertegur sapa dengan anak-anak yang mulai beranjak dewasa, aaaah....terkadang rindu masa kecil kalian nak !
Didalam kamar sempat bertegur sapa dan ngobrolin peristiwa ringan bersama istri, sekali lagi begitu giliranku yang ngobrol selalu di tinggal tidur...terlalu sekali kamu pasangan berdebatku!
Terbayang lagi Telor Asin tadi.....aku jadi teringat rawon yang tadi saat bukber ku santap dengan lahap.
Telor Asin sebagai bagian pelengkap rawon memang begitu nikmat, dan ku sadari untuk mendapatkan sebutir kenikmatan Telor Asin ini butuh proses yang lumayan panjang, bahkan untuk mendapatkan cita rasa masir didalam sebutir telor asin ini membutuhkan waktu tidak dalam 1 hari saja, melainkan butuh waktu 10-12 hari dan ada juga dengan proses tradisional membutuhkan waktu sampai dengan 6 minggu lamanya!
Kenikmatan sebutir Telor Asin seketika ku rangkai didalam filosofi sederhana ku tentang makna Toleransi yang semakin tipis terjadi di Indonesia.
Toleransi bagaikan proses sebutir Telor Asin, terangkai dengan indah melalui proses panjang manakala kita memaknai perbedaan dan kemajemukan berbangsa dan bernegara.
Toleransi ini tidak terjadi begitu saja terjadi manakala kita mampu berupaya memaknai hakekat mengenal figur Ke Ilahian didalam Theos (Tuhan) secara utuh !
Bukankah Tuhan sendirilah menciptakan keberagaman dan itu terjadi manakala Adam tercipta didunia dan menciptakan Hawa sebagai manusia yang dalam wujud yang berbeda!
Perbedaan inilah yang melahirkan kita sebagai manusia-manusia yang memiliki kekerabatan untuk saling mengenal dan mengasihi satu sama lain sebagai makluk ciptaan Nya yang sempurna!
Lalu.....kenapa keinginan luhur Tuhan harus kita serakkan dalam bingkai perbedaan yang saling menyakiti?
Terima kasih atas sebutir Telor Asin tadi Tuhan, terima kasih sudah mengajari ku sebuah proses mencapai kenikmatan hakiki arti dalam sebutir Telor Asin.
Terima kasih atas makna yang sudah Engkau tunjukan secara virtual makna Toleransi didalam drama Telor Asin.
Ijinkanlah aku beristirahat dalam lelahku malam ini, ku titipkan dosa ku hari ini dalam genggam maaf Mu yang tiada berujung.
Dariku,
Budi Satria
Tukang nyacat
Comments