Mencintai dengan Logika
- Budi Satria
- May 9, 2021
- 3 min read

"Nalar dan logika seringkali buntu dan berhenti manakala cinta muncul kepermukaan".
Malam ini angin terasa bersahabat sekali di saat aku duduk di teras belakang rumah terasa sepoi-sepoi dan tak lupa sebatang rokok dan segelas kopi hitam gunung Arjuna tanpa gula menemani.
Ku ambil laptop usangku menuangkan sejenak catatan kecil perjalanan hari ini biar ga lekang karena waktu.
Membiasakan diri menulis adalah salah satu cara sederhana membunuh kesepian (bagiku ya....entah kawan pembaca punya cara lain ).
Hari ini sebenarnya tak terlalu banyak kegiatan kulakukan kecuali kemarin yang penuh agenda keluar baik urusan pekerjaan maupun ajakan teman untuk membahas catatan yang akan masuk bucket list perjalanan pendakian lepas lebaran nanti.
Di sebuah tajuk berita harian nasional yang terkenal, aku sempat membaca sebuah torehan tulisan sederhana tentang profil salah satu pegiat lingkungan yang sempat juga bertemu dengan beliau saat di Jakarta beberapa tahun lalu, seorang perempuan energik yang memiliki asa sederhana untuk kelestarian lingkungan.
"Mencintai Lingkungan Dengan Logika" adalah tulisan tersebut, mengupas tentang sosok perempuan tersebut dengan sisi cara berbeda bersikap cara mencintai lingkungan.
Hadir bukan dari sosok pencinta alam yang suka naik gunung, namun sebagai sosok perempuan kebanyakan yang suka jalan - jalan ke mall.
Tiza Mafira namanya, perempuan yang luar biasa dengan sederet prestasi karena kiprahnya di bidang lingkungan bahkan sempat di ganjar penghargaan anugerah bergengsi dunia penghargaan UN Ocean Hero oleh United Nations Environment, selang setahun kemudian giliran Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) yang didirikannya juga mendapat Anugerah Revolusi Mental dari Pemerintah Republik Indonesia.
Sederhana dalam menerapkan cinta dengan logika membuat sosok Tirza Mafira cukup memberi inspirasi dan membuka mata dunia terhadap bahayanya penggunaan kantong plastik sekali pakai.
Melalui Watchdoc, angan dan asa mendokumentasikan tentang bahayanya penggunaan kantong plastik sekali pakai ini rilis bersama sutradara Dandhy Laksono dan Rahung Nasution, hadir pula kawan sejawat yang memiliki respek dan kecintaan secara logika terhadap lingkungan yaitu Prigi Arisandi (Ecoton) dan Gede Robi (Navicula).
Mencintai dengan Logika
Sederhana sekali tapi terkadang susah untuk di aplikasikan.
Ketika alam logika berperan andil besar mengambil keputusan, di situlah akan tersingkap beberapa hal yang perlu di jadikan perenungan dan tindakan.
Beberapa tahun belakangan ini aku menyempatkan diri berinteraksi lagi terhadap lingkungan terutama yang menyangkut sampah, mulai berjalan sendiri sampai akhirnya menemukan kawan-kawan yang sama se pemikiran dan se logika denganku tentang lingkungan di masa depan.
Dulu, saat pertama kali menginjakan kaki di gunung Semeru di tahun 1989, aku merasakan betapa luar biasanya alam memberikan pelajaran berharga bagiku.
Penduduk dengan kearifannya belanja selalu menggunakan tas ataupun keranjang jinjing tak lupa selendang sebagai bawaan wajib saat di pasar.
Tahun 2019 adalah pendakianku yang terakhir ke Semeru karena jadwal di 2020 tertunda akibat pandemi hingga saat ini (semoga bulan Juli nanti bisa naik lagi ke Semeru).
Di pendakian terakhir ini sepanjang perjalanan aku melihat perubahan yang sangat luar biasa yang terjadi dari tahun ke tahun ( oh iya...hampir tiap tahun selalu hadir di Semeru), air Ranu Kumbolo yang mulai berkurang debitnya, tak lagi menjumpai burung yang biasanya sempat terekam mata ini berenang di Ranu Kumbolo sampai dengan kicauan keras burung yang senantiasa membuat hati ini terbuka teringat akan kebesaran Nya.
Begitu pula melihat sampah yang banyak di dominasi plastik sekali pakai membuatku miris, aku bersyukur mendapat kesempatan melalui pekerjaanku mengamati Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo, dan beruntung pula pernah memiliki pemimpin daerah yang sangat mencintai kotanya dengan logika, yaaaa....Ibu Risma , beliau menuangkan kecintaannya dengan logika untuk kotanya dengan segera menjalin kerjasama mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang menghasilkan 12 MW dengn kapasitas 1000 Ton sampah tereduksi dari total sampah harian Surabaya 1300 an Ton/hari.
Sederhana bersikap untuk mencintai dengan logika, itu adalah kunci yang sangat berdampak besar bagi sekitar kita.
Seperti halnya seorang Tirza Mafira, Prigi Ariandi dan Gede Robi, alam logika mereka mendominasi rasa cintanya terhadap bahaya plastik sekali pakai bagi masa depan anak cucu kita.
Film dokumenter "Pulau Plastik" adalah salah satu jendela yang membuka wawasan kita bagaimana kehidupan yang akan kita wariskan ke anak cucu kita di masa depan nanti.
Indonesia butuh orang-orang yang mencintai lingkungan dengan logikanya!
Berapa banyak destinasi wisata yang ter blow up namun tanpa sentuhan konservasi !
Suatu saat tanpa logika untuk mencintai Indonesia yang akan kita wariskan alamnya ke anak cucu kita, mereka hanya bisa melihat sosok ikan paus melalui gambar, bekantan Kalimantan melalui visual, dan kenyataan yang akan mereka hadapi adalah "Plastik menggantikan posisi ikan di lautan!"
Aaaah....sudahlah!
Saat nya mencuci totte bag ku yang kena tumpahan kecap saat tadi belanja dan mampir makan bakso langganan.
Selamat bermimpi melihat plastik menggantikan ikan di lautan kawan, sampai jumpa lagi besok dan ceritakanlah mimpimu kepadaku.
Budi Satria
Tukang Nyacat
Comments